Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui sikap
ilmiah dan budaya berpikir pada implementasi kurikulum 2013. Sikap ilmiah dan
budaya berpikir apa yang bisa dikembangkan melalui kurikulum 2013, merupakan
pertanyaan yang akan dijawab dalam tulisan ini. Informasi dijaring melalui
kajian literatur dan wawancara dengan guru inti/ guru sasaran kurikulum 2013
jenjang Sekolah Dasar. Sikap ilmiah diantaranya: hasrat ingin tahu, kerendahan
hati, jujur, objektif, kemauan untuk mempertimbangkan data baru, pendekatan
proses, positif terhadap kegagalan, determinasi, sikap keterbukaan dan
ketelitian. Budaya berpikir setidaknya meliputi ingin tahu (curiousity), ingin
mendapatkan sesuatu yang baru (orginality), kerjasama (cooperation), tidak
putus asa (perseverance), tidak berprasangka (open-mindedness), mawas diri (self
criticism), bertanggung jawab (responsibility), berpikir bebas (independence in
thinking),kedisiplinan diri (self discipline)
Kata Kunci: Sikap ilmiah, budaya berpikir,
kurikulum 2013
A. Pendahuluan Kurikulum 2013 diberlakukan secara
bertahap mulai tahun ajaran 2013-2014
B. Sikap Ilmiah Good (Wiryoatmojo, S. 1986:65),
menyatakan bahwa sikap ilmiah diartikan sebagai : “Gagasan emosional tentang
metode ilmu pengetahuan dan terkait langsung atau tidak langsung bagi suatu
tindakan; di dalam literatur ilmu pendidikan ini menyiratkan sebagai kualitas
pikiran cendekiawan dalam kebenaran, rasa hormat dan penghargaan terhadap
kebebasan berkomunikasi di dalam ilmu pengetahuan”. Secara singkat dari
pernyataan Good tersebut dapat dinyatakan bahwa : 1. Sikap ilmiah merupakan
perasaan yang diwarnai Ilmu Pengetahuan Alam, metode ilmiah dan secara langsung
atau tidak langsung berhubungan dengan kegiatan keilmuan; 2. Sikap ilmiah
berkaitan dengan kualitas mental seperti kesungguhan dalam kegiatan keilmuan,
berusaha mencari dan menjunjung tinggi kebenaran dan menghargai kebebasan
berkomunikasi mengenai hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Jadi, sikap
ilmiah adalah suatu sikap terhadap objek yang berhubungan dengan ilmu
pengetahuan. Sikap atau ‘attitude’ merupakan kecenderungan untuk bertindak
(tendency to behave). R.T. White (1988) menyatakan bahwa wilayah ‘attitude’
mencakup juga wilayah kognitif. Attitude dapat membatasi atau mempermudah siswa
untuk menerapkan keterampilan dan pengetahuan yang sudah dikuasai. Siswa tidak
akan berusaha untuk memahami suatu konsep jika dia tidak memiliki kemauan untuk
itu. Karena itu, attitude seseorang terhadap mata pelajaran sangat berpengaruh
pada keberhasilan learning (kegiatan pembelajaran). Harlen menyatakan bahwa
scientific attitude atau sikap ilmiah mengandung dua makna yaitu attitude to
science dan attitude of science. Attitude yang pertama mengacu pada sikap
terhadap IPA sedangkan attitude yang kedua mengacu pada sikap yang melekat
setelah mempelajari IPA. Beberapa contoh ‘scientific attitude’ yang pada
umumnya mulai dikembangkan di sekolah meliputi; sikap jujur, terbuka, luwes,
tekun, logis, kritis, kreatif. (S. Karim, A. K. 2007). M. Amin (Hikmat, E.
2003:23), mengemukakan beberapa sikap ilmiah yang meliputi : hasrat ingin tahu,
kerendahan hati, jujur, objektif, kemauan untuk mempertimbangkan data baru, pendekatan
proses, positif terhadap kegagalan, determinasi, sikap keterbukaan dan
ketelitian. Sedangkan Harlen (Hikmat, E. 2003:23), menyatakan setidak-tidaknya
ada sembilan aspek sikap ilmiah yang dapat dikembangkan pada anak usia Sekolah
Dasar, yaitu: 1. Sikap ingin tahu (curiousity), adalah suatu sikap yang selalu
ingin mendapat jawaban yang benar dari objek yang diamati; 2. Sikap ingin
mendapatkan sesuatu yang baru (orginality), adalah suatu sikap yang bertitik
tolak dari kesadaran bahwa jawaban yang telah mereka peroleh dari rasa ingin
tahu itu tidaklah bersifat final atau mutlak, tetapi masih bersifat sementara
atau tentatif; 3. Sikap kerjasama (cooperation), adalah suatu sikap yang
menyadari bahwa pengetahuan yang dimiliki orang lain mungkin lebih banyak dan
lebih sempurna daripada apa yang ia miliki. Oleh karena itu untuk meningkatkan
pengetahuannya ia merasa membutuhkan kerjasama dengan orang lain; 4. Sikap
tidak putus asa (perseverance), adalah suatu sikap yang tidak mudah menyerah
terhadap tantangan, kesulitan, hambatan, bahkan suatu kegagalan yang ia alami
dijadikan sebagai pengalaman yang berharga dalam menghadapi usaha berikutnya;
5. Sikap tidak berprasangka (open-mindedness), adalah suatu sikap yang
menetapkan bahwa kebenaran berdasarkan dua kriteria, yaitu rasionalitas dan
objektivitas; 6. Sikap mawas diri (self criticism), adalah suatu sikap yang
menjunjung tinggi kebenaran. Objektivitas tidak hanya ditunjukkan di luar
dirinya juga terhadap dirinya; 7. Sikap bertanggung jawab (responsibility), adalah
suatu sikap yang berani mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuatnya; 8.
Sikap berpikir bebas (independence in thinking), adalah suatu sikap yang tidak
bergantung sepenuhnya kepada pendapat orang lain; 9. Sikap kedisiplinan diri
(self discipline), adalah suatu sikap yang berani dan mampu mengontrol ataupun
mengatur dirinya menuju kepada tingkah laku yang dikehendaki dan dapat diterima
oleh masyarakat. Selain itu, komponen sikap ilmiah menurut Good, Egglestone dan
Kerr, Dieberich dan Haney (Wiryoatmojo, S. 1986:70) dapat dirangkum sebagai
berikut : 1. Skeptis (kritis) yaitu tidak percaya begitu saja, selalu
menanyakan prasyarat dan alternatif; 2. Selalu percaya bahwa setiap masalah ada
pemecahannya, tekun dan ulet dalam menghadapi masalah; 3. Mempunyai keinginan
kuat untuk menguji hasil eksperimen dan tidak percaya pada informasi yang
emosional; 4. Senang ide-ide baru dan ingin mencobanya; 5. Peramah dan sedia
mengubah pendapatnya yang ternyata kurang tepat, tidak sombong dan rendah diri,
bersifat terbuka; 6. Jujur dan berpegang teguh pada kebenaran; 7. Tidak
mendasarkan pemecahan masalah pada takhyul; 8. Senang pada informasi yang
ilmiah; 9. Selalu ingin mengetahui dan menambah ilmu; 10. Mampu membedakan mana
yang masalah dan mana yang pemecahan masalah; 11. Menghargai teori atau
pendapat orang lain; 12. Menyadari adanya kemungkinan salah dalam menarik
kesimpulan yang berlaku umum; 13. Teliti dalam mengukur dan senang
kuantifikasi; 14. Berpikiran luas dan tidak gegabah dalam mengambil putusan.
C. BUDAYA BERPIKIR (Habit of Mind) Costa (2000)
menyatakan bahwa habits of mind berarti memiliki watak berperilaku secara
cerdas ketika menghadapi masalah atau terhadap jawaban yang tidak segera
diketahui. A "Habit of Mind” means having a disposition toward behaving
intelligently when confronted with problems, the answers to which are not
immediately known. Di dalam masyarakat, nilai, sikap dan keterampilan,
mengalami pengalihan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pendapat orang
tentang pengetahuan, belajar dan aspek kehidupan lainnya dipengaruhi oleh
keluarga, agama, kelompok bermain, buku-buku, berita, media hiburan serta
pengalaman hidup secara umum. Sains, matematika dan teknologi, dalam konteks
sekolah, juga memainkan peranan kunci di dalam proses pengalihan tersebut,
dimana sains, matematika dan teknologi terbentuk dari seperangkat perbedaan
nilai yang mencerminkan dan merespon nilai-nilai masyarakat secara umum.
Keterampilan berpikir yang berkaitan erat dengan sains, matematika dan
teknologi, perlu dikembangkan oleh peserta didik selama mengikuti sekolah.
Keterampilan matematika dan logika merupakan alat esensial untuk belajar baik
formal maupun non-formal dan untuk berpartisipasi dalam kehidupan
bermasyarakat. Nilai, sikap dan keterampilan, ketiganya dapat dianggap sebagai
kebiasaan berpikir karena kesemuanya berhubungan langsung dengan pandangan
seseorang tentang pengetahuan, belajar, cara berpikir dan cara bertindak.
Dengan demikian sekolah harus menjadikan nilai dan sikap ilmiah sebagai hal
yang bertanggung jawab dalam menyiapkan peserta didik untuk menjalani hidup di
luar sekolah.
D. Nilai dan Sikap Pendidikan sains harus
memberikan sumbangan pada pengetahuan manusia mengenai nilai-nilai, baik para
saintis, matematikawan dan ahli teknik, yaitu memperkuat nilai-nilai umum
masyarakat, penanaman informasi kepada masyarakat, menyeimbangkan keyakinan
mengenai nilai-nilai sosial deri sains, matematika dan teknologi dan
mengembangkan sikap positif pada peserta didik untuk belajar sains, matematika
dan teknologi. Sains, matematika dan teknologi menyatukan nilai-nilai yang
terpisah yang beberapa diantaranya berbeda dalam jenis atau intensitasnya,
yaitu dari mereka yang bekerja di bidang bisnis, hukum dan seni. Untuk memahami
sains, matematika dan teknologi, perlu disadari adanya beberapa nilai yang
mendasari dan menjadi karakter, yang diberikan oleh orang-orang yang
berkecimpung didalamnya, yaitu memperhatikan data yang dapat diverifikasi,
hipotesis yang dapat diuji dan adanya prediksi didalam sains; bukti yang kuat
di dalam matematika; dan disain yang optimum di dalam teknologi. Sains dapat
dianggap sebagai revolusioner dan konservatif. Kadang-kadang pengetahuan yang
diturunkannya memaksa kita untuk mengubah bahkan melepaskan keyakinan tentang
makna sesuatu yang telah lama dianut. Hal penting juga bagi masyarakat untuk
menyadari bahwa sains merupakan dasar bagi nilai sehari-hari, dan sesungguhnya
sains ada di dalam penerapan sistematis dari beberapa nilai manusia yang
dianggap luhur yaitu integritas, kerajinan, kejujuran, rasa ingin tahu, terbuka
terhadap pendapat/gagasan baru, kecurigaan (skeptisme) dan imajinasi.
Pendidikan sains berada pada posisi yang kuat untuk memelihara tiga dari nilai
dan sikap tadi, yaitu rasa ingin tahu, terbuka pada pendapat/gagasan baru dan
skeptisisme. Saintis berkembang dengan baik diatas rasa ingin tahu, begitu pula
anak-anak. Anak-anak memasuki kehidupan sekolah dengan beberapa pertanyaan
tentang segala sesuatu yang dia lihat. Yang membedakan anak-anak dengan
saintis, hanya karena anak-anak belum mempelajari bagaimana cara menemukan
jawaban dan menguji jawaban tersebut. Pendidikan sains yang memelihara rasa
ingin tahu, akan mengajari anak-anak tentang bagaimana menyalurkan rasa ingin
tahu tersebut ke dalam cara yang produktif. Gagasan baru merupakan hal yang
esensial bagi pertumbuhan sains dan aktivitas manusia pada umumnya. Orang yang
berpikiran tertutup, akan kehilangan rasa senang terhadap penemuan dan
kehilangan kepuasan pertumbuhan intelektual selama hidupnya. Tujuan pendidikan sains
tidak terbatas untuk menghasilkan saintis, tapi juga membantu semua siswa untuk
memahami pentingnya memperhatikan gagasan dengan hati-hati, yang pada awalnya
gagasan tersebut kelihatan mencemaskan atau berbeda/ganjil dengan kepercayaan
umum. Skeptisisme dan keterbukaan menjadi karakter sains. Karena kebanyakan
santis bersikap ragu terhadap semua teori baru, maka penerimaan teori biasanya
melalui proses verifikasi (pemeriksaan) dan pembatalan/penyalahan yang dapat
memakan waktu beberapa tahun. Pendidikan sains dapat membantu siswa untuk
memahami nilai sosial dari skeptisisme sistematis, dan mengembangkan
keseimbangan yang sehat di dalam pikirannya, antara skeptisisme (keragu-raguan)
dan keterbukaan. Siswa sekolah dasar mempunyai minat yang spontan terhadap alam
dan hitungan. Namun demikian, beberapa siswa merasa takut pada matematika dan
menolak sains karena merasa terlalu bodoh, dan sains terlalu sukar dipelajari.
Mereka menganggap sains hanya sebagai aktivitas akademis, bukan sebagai suatu
cara untuk memahami dunia dengan kehidupan yang ada didalamnya. Sekolah perlu
melakukan sesuatu yang esensial untuk mengubah situasi di atas, antara lain
dengan adanya usaha yang kuat dari guru untuk bersikap positif di antara
siswa-siswa. Jika guru memilih topik sains dan matematika dengan pendekatan
yang mudah, menampilkan kerja kelompok dan memfokuskan pada kegiatan meneliti,
belajar dan memperoleh pengakuan, maka semua siswa akan sungguh-sungguh
belajar.
E. Keterampilan Pengetahuan harus dipahami dengan
cara yang akan memungkinkan digunakan untuk memecahkan masalah. Untuk belajar
keterampilan berpikir hanya datang dari proses memahami segala sesuatu yang
penting mengenai dunia, menyatakannya dalam konteks dan situasi yang
berbeda-beda, dan menggunakannya berulang-ulang.
1. Keterampilan Berhitung Di dalam kehidupan
sehari-hari, seseorang mungkin harus membuat kalkulasi sederhana di dalam
ingatannya, namun pada umumnya jumlah mental aritmatik seseorang sangat
terbatas. Keterampilan berhitung membutuhkan ingatan dan kemampuan menghafal
dengan segera sejumlah fakta-fakta tertentu, seperti; 1) jumlah dan selisih
bilangan 1 s.d 10 2) perbandingan desimal dari pecahan 1/2, 1/3, 2/3, 3/4, 1/5,
1/10 dan 1/100 3) hubungan antara pecahan desimal dan persentase (misalnya 0,23
dan 23%) 4) hubungan antara 10,100, 1000, 1 juta dan 1miliar, menyatakan
pangkat dari 10, seperti 101, 102, 103, 104, dan 109. Ada dua jenis mental
kalkulasi yang harus dilakukan oleh setiap orang, yaitu ; 1) penjumlahan dua
bilangan yang masing-masing mempunyai 2 digit 2) perkalian dan pembagian 2
bilangan dengan 2, 10 dan 100, pada 1 atau 2 digit. Kedatangan kalkulator
elektronik yang kecil dan tidak mahal, telah memungkinkan perubahan situasi
yang radikal, karena bekerja cepat, dan menyediakan kesempatan untuk melakukan
dan belajar matematika dengan betul. Siswa dapat mempelajari bagaimana
langkah/tahap menghitung untuk memecahkan masalah penjumlahan biasa dan
bagaimana menguji kebenaran jawabannya. Pada saat dibutuhkan ketelitian, dan
angka yang digunakan banyak digit, atau pada saat penghitungan harus melalui
beberapa tahap, kalkulator berusaha melakukan beberapa praktis di luar
kemampuan penghitungan tertulis.
2. Keterampilan Manipulasi dan Observasi Setiap
orang memerlukan kemampuan untuk menggunakan benda-benda atau peralatan rumah
dan peralatan teknologi sehari-hari, melakukan observasi dengan hati-hati dan
menguasai informasi. Hal tersebut di atas termasuk melakukan hal-hal sebagai
berikut; membuat catatan yang akurat tentang suatu observasi, spekulasi tentang
apa yang diobservasi, yang baru dimengerti pada waktu selanjutnya, menyimpan
informasi komputer dengan berdasarkan topik, alfabet, nomor atau file kata
kunci atau file sederhana, menggunakan alat pengukuran panjang, volume, berat,
interval waktu dan temperatur, dan lain-lain.
3. Keterampilan Komunikasi Berpidato dalam sains,
matematika dan teknologi, disebut kemampuan mengkomunikasikan gagasan dan
membagi informasi secara jelas, serta membaca dan mendengar dengan paham.
Setiap orang harus mempunyai keterampilan yang memungkinkan dirinya melakukan
hal sebagai berikut, antara lain menyatakan secara lisan atau tulisan tentang
ide dasar suatu tulisan. Hal ini membutuhkan pemahaman terhadap ide tersebut,
membentuk struktur konseptual sendiri dan mungkin memberi ilustrasi ide dengan
contoh dan alasan yang rasional, menjadikan suatu hal yang menyenangkan dan
familiar dengan dilengkapi perbendaharaan kata baku tentang ide pokok sains,
matematika dan teknologi, seperti ” jika ....., maka .......”, ”dan”, ”setiap”,
”tidak”, ”berhubungan dengan”, dan ”akibat”, mengorganisasikan informasi
menjadi suatu tabel, dan lain-lain.
4. Keterampilan Respon Krisis Dalam berbagai
bentuk, media massa, guru dan kelompok bermain, membanjiri siswa dengan
pernyataan dan pendapat yang beberapa diantaranya merupakan bagian dari sains,
matematika dan teknologi. Pendidikan dapat menyiapkan seseorang untuk membaca
atau mendengarkan beberapa pernyataan secara kritis, apa yang harus
dihilangkan, dan membedakan pendapat yang baik dan tidak baik, lebih jauh lagi
orang dapat menerapkan keterampilan kritis tersebut terhadap pengamatannya,
argumennya dan kesimpulannya. F. Kesimpulan Nilai, sikap dan keterampilan,
dapat dianggap sebagai kebiasaan berpikir karena kesemuanya berhubungan
langsung dengan pandangan seseorang tentang pengetahuan, belajar, cara berpikir
dan cara bertindak. Sains, matematika dan teknologi merupakan dasar bagi nilai
sehari-hari, dan merupakan penerapan nilai manusia yang dianggap luhur, yaitu
integritas, kerajinan, kejujuran, rasa ingin tahu, terbuka terhadap
gagasan/pendapat baru, dan imajinasi. Tiga dari nilai dan sikap diatas
dipelihara di dalam pendidikan sains, yaitu rasa ingin tahu, terbuka terhadap
gagasan/pendapat baru dan skeptisisme (keragu-raguan). Untuk menunjang
pencapaian nilai, sikap dan keterampilan yang diharapkan atau untuk mencapai
kebiasaan berpikir yang positif, perlu diterapkan kegiatan pembelajaran yang
efektif. Dengan demikian, sekolah melalui usaha guru perlu menyelenggarakan
pendidikan sains, matematika dan teknologi sebagi suatu proses yang melibatkan
seluruh aspek yang ada di dalam diri siswa, untuk mencapai pemahaman sains,
matematika dan teknologi disertai adanya nilai, sikap dan keterampilan sains,
matematika dan teknologi dalam menyiapkan siswa dapat menjalani kehidupannya di
luar sekolah. Ketika pengalaman manusia mengalami dikotomi, bingung menghadapi
dilema, atau menghadapi ketidakpastian , tindakan yang umum dilakukan adalah
menggambarkannya dalam bentuk yang amat dipengaruhi pola kecerdasannya.
Penggambaran tadi biasanya menjadi sangat luar biasa dan sangat signifikan
mempengaruhi dirinya. Semua pihak perlu menyadari bahwa pendidikan sain tidak
terbatas sebagai kegiatan akademis yang akan menghasilkan saintis yang terpisah
dari kehidupan masyarakat. Kesadaran itu menuntut tenaga pendidik untuk
bertanggung-jawab secara profesional menerapkan prinsip-prinsip pendidkan
sains, matematika dan teknologi baik di sekolah sebagai lembaga pendidikan
formal, maupun di lembaga pendidikan non-formal. Peran pendidik selama proses
pembelajaran tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga mengajarkan
proses bagaimana pengetahuan diperoleh. Praktek pembelajaran sains di sekolah
hendaknya tidak hanya menekankan domain pengetahuan, tetapi juga mengembangkan
aspek kerja ilmiah dan keterampilan berpikir ilmiah. Presseisen (Costa, 1985)
mendefinisikan berpikir adalah proses kognitif atau aktivitas mental untuk
memperoleh pengetahuan. Dengan demikian Kompetensi dasar yang dirancang guru
sains tidak hanya mencakup kompetensi akademik tetapi lebih ditekankan pada
keterampilan berpikir, yang merupakan basic life skill. Perbaikan pembelajaran
sains lebih diorientasikan pada bagaimana belajar sains, yang intinya adalah
bagaimana guru dapat membelajarkan sains sesuai hakikat sains. Guru sendiri
perlu mengembangkan keterampilan berpikir, yang berguna tidak hanya untuk
pembelajaran sains di kelas, akan tetapi juga berguna dalam menyelesaikan
masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Guru sebagai fasilitator
dalam pembelajaran di kelas harus memiliki kemampuan membentuk habits of mind
siswanya. Seseorang yang berpikir akan mendapatkan suatu penemuan baru atau
dapat mengkaitkan antara satu hal dengan hal yang lain.
F. Daftar Rujukan
Costa, A.L. (1985). Developing Minds, A Resource
Book for Teaching and Thinking. Association Supervision and Curriculum. USA.
Costa, A.L. & Kallick, B. (2000). Describing
Sixteen habits of Mind. Alexandria, VA Association for Supervision and
Curriculum Development. USA.
Kemdikbud. (2014). Bahan Pelatihan Kurikulum
2013. Jakarta: BPSDMPK dan PMP
Rutherford, F.J. & Ahlgren, A. (1990).
Science for All Americans. New York : Oxford University Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar