Rabu, 15 Oktober 2014

SIKAP ILMIAH DAN BUDAYA BERPIKIR PADA KURIKULUM 2013



Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui sikap ilmiah dan budaya berpikir pada implementasi kurikulum 2013. Sikap ilmiah dan budaya berpikir apa yang bisa dikembangkan melalui kurikulum 2013, merupakan pertanyaan yang akan dijawab dalam tulisan ini. Informasi dijaring melalui kajian literatur dan wawancara dengan guru inti/ guru sasaran kurikulum 2013 jenjang Sekolah Dasar. Sikap ilmiah diantaranya: hasrat ingin tahu, kerendahan hati, jujur, objektif, kemauan untuk mempertimbangkan data baru, pendekatan proses, positif terhadap kegagalan, determinasi, sikap keterbukaan dan ketelitian. Budaya berpikir setidaknya meliputi ingin tahu (curiousity), ingin mendapatkan sesuatu yang baru (orginality), kerjasama (cooperation), tidak putus asa (perseverance), tidak berprasangka (open-mindedness), mawas diri (self criticism), bertanggung jawab (responsibility), berpikir bebas (independence in thinking),kedisiplinan diri (self discipline)
Kata Kunci: Sikap ilmiah, budaya berpikir, kurikulum 2013
A. Pendahuluan Kurikulum 2013 diberlakukan secara bertahap mulai tahun ajaran 2013-2014 
melalui pelaksanaan terbatas, khususnya bagi sekolah-sekolah yang sudah siap melaksanakannya. Pada Tahun Ajaran 2014/2015, Kurikulum 2013 dilaksanakan bertahap menyeluruh untuk Kelas I, II, IV dan V, Sekolah Dasar/Madrasah Ibtida’iyah (SD/MI), Kelas VII, VIII Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), dan Kelas X, XI Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah (SMA/SMK/MA/MAK). Pada Tahun Ajaran 2015/2016 diharapkan Kurikulum 2013 telah dilaksanakan di seluruh kelas I sampai dengan Kelas XII. Kurikulum 2013 mengusung adanya keseimbangan antara sikap, keterampilan, dan pengetahuan untuk membangun soft skills dan hard skills (Kemdikbud, 2014)
B. Sikap Ilmiah Good (Wiryoatmojo, S. 1986:65), menyatakan bahwa sikap ilmiah diartikan sebagai : “Gagasan emosional tentang metode ilmu pengetahuan dan terkait langsung atau tidak langsung bagi suatu tindakan; di dalam literatur ilmu pendidikan ini menyiratkan sebagai kualitas pikiran cendekiawan dalam kebenaran, rasa hormat dan penghargaan terhadap kebebasan berkomunikasi di dalam ilmu pengetahuan”. Secara singkat dari pernyataan Good tersebut dapat dinyatakan bahwa : 1. Sikap ilmiah merupakan perasaan yang diwarnai Ilmu Pengetahuan Alam, metode ilmiah dan secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan kegiatan keilmuan; 2. Sikap ilmiah berkaitan dengan kualitas mental seperti kesungguhan dalam kegiatan keilmuan, berusaha mencari dan menjunjung tinggi kebenaran dan menghargai kebebasan berkomunikasi mengenai hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Jadi, sikap ilmiah adalah suatu sikap terhadap objek yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Sikap atau ‘attitude’ merupakan kecenderungan untuk bertindak (tendency to behave). R.T. White (1988) menyatakan bahwa wilayah ‘attitude’ mencakup juga wilayah kognitif. Attitude dapat membatasi atau mempermudah siswa untuk menerapkan keterampilan dan pengetahuan yang sudah dikuasai. Siswa tidak akan berusaha untuk memahami suatu konsep jika dia tidak memiliki kemauan untuk itu. Karena itu, attitude seseorang terhadap mata pelajaran sangat berpengaruh pada keberhasilan learning (kegiatan pembelajaran). Harlen menyatakan bahwa scientific attitude atau sikap ilmiah mengandung dua makna yaitu attitude to science dan attitude of science. Attitude yang pertama mengacu pada sikap terhadap IPA sedangkan attitude yang kedua mengacu pada sikap yang melekat setelah mempelajari IPA. Beberapa contoh ‘scientific attitude’ yang pada umumnya mulai dikembangkan di sekolah meliputi; sikap jujur, terbuka, luwes, tekun, logis, kritis, kreatif. (S. Karim, A. K. 2007). M. Amin (Hikmat, E. 2003:23), mengemukakan beberapa sikap ilmiah yang meliputi : hasrat ingin tahu, kerendahan hati, jujur, objektif, kemauan untuk mempertimbangkan data baru, pendekatan proses, positif terhadap kegagalan, determinasi, sikap keterbukaan dan ketelitian. Sedangkan Harlen (Hikmat, E. 2003:23), menyatakan setidak-tidaknya ada sembilan aspek sikap ilmiah yang dapat dikembangkan pada anak usia Sekolah Dasar, yaitu: 1. Sikap ingin tahu (curiousity), adalah suatu sikap yang selalu ingin mendapat jawaban yang benar dari objek yang diamati; 2. Sikap ingin mendapatkan sesuatu yang baru (orginality), adalah suatu sikap yang bertitik tolak dari kesadaran bahwa jawaban yang telah mereka peroleh dari rasa ingin tahu itu tidaklah bersifat final atau mutlak, tetapi masih bersifat sementara atau tentatif; 3. Sikap kerjasama (cooperation), adalah suatu sikap yang menyadari bahwa pengetahuan yang dimiliki orang lain mungkin lebih banyak dan lebih sempurna daripada apa yang ia miliki. Oleh karena itu untuk meningkatkan pengetahuannya ia merasa membutuhkan kerjasama dengan orang lain; 4. Sikap tidak putus asa (perseverance), adalah suatu sikap yang tidak mudah menyerah terhadap tantangan, kesulitan, hambatan, bahkan suatu kegagalan yang ia alami dijadikan sebagai pengalaman yang berharga dalam menghadapi usaha berikutnya; 5. Sikap tidak berprasangka (open-mindedness), adalah suatu sikap yang menetapkan bahwa kebenaran berdasarkan dua kriteria, yaitu rasionalitas dan objektivitas; 6. Sikap mawas diri (self criticism), adalah suatu sikap yang menjunjung tinggi kebenaran. Objektivitas tidak hanya ditunjukkan di luar dirinya juga terhadap dirinya; 7. Sikap bertanggung jawab (responsibility), adalah suatu sikap yang berani mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuatnya; 8. Sikap berpikir bebas (independence in thinking), adalah suatu sikap yang tidak bergantung sepenuhnya kepada pendapat orang lain; 9. Sikap kedisiplinan diri (self discipline), adalah suatu sikap yang berani dan mampu mengontrol ataupun mengatur dirinya menuju kepada tingkah laku yang dikehendaki dan dapat diterima oleh masyarakat. Selain itu, komponen sikap ilmiah menurut Good, Egglestone dan Kerr, Dieberich dan Haney (Wiryoatmojo, S. 1986:70) dapat dirangkum sebagai berikut : 1. Skeptis (kritis) yaitu tidak percaya begitu saja, selalu menanyakan prasyarat dan alternatif; 2. Selalu percaya bahwa setiap masalah ada pemecahannya, tekun dan ulet dalam menghadapi masalah; 3. Mempunyai keinginan kuat untuk menguji hasil eksperimen dan tidak percaya pada informasi yang emosional; 4. Senang ide-ide baru dan ingin mencobanya; 5. Peramah dan sedia mengubah pendapatnya yang ternyata kurang tepat, tidak sombong dan rendah diri, bersifat terbuka; 6. Jujur dan berpegang teguh pada kebenaran; 7. Tidak mendasarkan pemecahan masalah pada takhyul; 8. Senang pada informasi yang ilmiah; 9. Selalu ingin mengetahui dan menambah ilmu; 10. Mampu membedakan mana yang masalah dan mana yang pemecahan masalah; 11. Menghargai teori atau pendapat orang lain; 12. Menyadari adanya kemungkinan salah dalam menarik kesimpulan yang berlaku umum; 13. Teliti dalam mengukur dan senang kuantifikasi; 14. Berpikiran luas dan tidak gegabah dalam mengambil putusan.
C. BUDAYA BERPIKIR (Habit of Mind) Costa (2000) menyatakan bahwa habits of mind berarti memiliki watak berperilaku secara cerdas ketika menghadapi masalah atau terhadap jawaban yang tidak segera diketahui. A "Habit of Mind” means having a disposition toward behaving intelligently when confronted with problems, the answers to which are not immediately known. Di dalam masyarakat, nilai, sikap dan keterampilan, mengalami pengalihan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pendapat orang tentang pengetahuan, belajar dan aspek kehidupan lainnya dipengaruhi oleh keluarga, agama, kelompok bermain, buku-buku, berita, media hiburan serta pengalaman hidup secara umum. Sains, matematika dan teknologi, dalam konteks sekolah, juga memainkan peranan kunci di dalam proses pengalihan tersebut, dimana sains, matematika dan teknologi terbentuk dari seperangkat perbedaan nilai yang mencerminkan dan merespon nilai-nilai masyarakat secara umum. Keterampilan berpikir yang berkaitan erat dengan sains, matematika dan teknologi, perlu dikembangkan oleh peserta didik selama mengikuti sekolah. Keterampilan matematika dan logika merupakan alat esensial untuk belajar baik formal maupun non-formal dan untuk berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai, sikap dan keterampilan, ketiganya dapat dianggap sebagai kebiasaan berpikir karena kesemuanya berhubungan langsung dengan pandangan seseorang tentang pengetahuan, belajar, cara berpikir dan cara bertindak. Dengan demikian sekolah harus menjadikan nilai dan sikap ilmiah sebagai hal yang bertanggung jawab dalam menyiapkan peserta didik untuk menjalani hidup di luar sekolah.
D. Nilai dan Sikap Pendidikan sains harus memberikan sumbangan pada pengetahuan manusia mengenai nilai-nilai, baik para saintis, matematikawan dan ahli teknik, yaitu memperkuat nilai-nilai umum masyarakat, penanaman informasi kepada masyarakat, menyeimbangkan keyakinan mengenai nilai-nilai sosial deri sains, matematika dan teknologi dan mengembangkan sikap positif pada peserta didik untuk belajar sains, matematika dan teknologi. Sains, matematika dan teknologi menyatukan nilai-nilai yang terpisah yang beberapa diantaranya berbeda dalam jenis atau intensitasnya, yaitu dari mereka yang bekerja di bidang bisnis, hukum dan seni. Untuk memahami sains, matematika dan teknologi, perlu disadari adanya beberapa nilai yang mendasari dan menjadi karakter, yang diberikan oleh orang-orang yang berkecimpung didalamnya, yaitu memperhatikan data yang dapat diverifikasi, hipotesis yang dapat diuji dan adanya prediksi didalam sains; bukti yang kuat di dalam matematika; dan disain yang optimum di dalam teknologi. Sains dapat dianggap sebagai revolusioner dan konservatif. Kadang-kadang pengetahuan yang diturunkannya memaksa kita untuk mengubah bahkan melepaskan keyakinan tentang makna sesuatu yang telah lama dianut. Hal penting juga bagi masyarakat untuk menyadari bahwa sains merupakan dasar bagi nilai sehari-hari, dan sesungguhnya sains ada di dalam penerapan sistematis dari beberapa nilai manusia yang dianggap luhur yaitu integritas, kerajinan, kejujuran, rasa ingin tahu, terbuka terhadap pendapat/gagasan baru, kecurigaan (skeptisme) dan imajinasi. Pendidikan sains berada pada posisi yang kuat untuk memelihara tiga dari nilai dan sikap tadi, yaitu rasa ingin tahu, terbuka pada pendapat/gagasan baru dan skeptisisme. Saintis berkembang dengan baik diatas rasa ingin tahu, begitu pula anak-anak. Anak-anak memasuki kehidupan sekolah dengan beberapa pertanyaan tentang segala sesuatu yang dia lihat. Yang membedakan anak-anak dengan saintis, hanya karena anak-anak belum mempelajari bagaimana cara menemukan jawaban dan menguji jawaban tersebut. Pendidikan sains yang memelihara rasa ingin tahu, akan mengajari anak-anak tentang bagaimana menyalurkan rasa ingin tahu tersebut ke dalam cara yang produktif. Gagasan baru merupakan hal yang esensial bagi pertumbuhan sains dan aktivitas manusia pada umumnya. Orang yang berpikiran tertutup, akan kehilangan rasa senang terhadap penemuan dan kehilangan kepuasan pertumbuhan intelektual selama hidupnya. Tujuan pendidikan sains tidak terbatas untuk menghasilkan saintis, tapi juga membantu semua siswa untuk memahami pentingnya memperhatikan gagasan dengan hati-hati, yang pada awalnya gagasan tersebut kelihatan mencemaskan atau berbeda/ganjil dengan kepercayaan umum. Skeptisisme dan keterbukaan menjadi karakter sains. Karena kebanyakan santis bersikap ragu terhadap semua teori baru, maka penerimaan teori biasanya melalui proses verifikasi (pemeriksaan) dan pembatalan/penyalahan yang dapat memakan waktu beberapa tahun. Pendidikan sains dapat membantu siswa untuk memahami nilai sosial dari skeptisisme sistematis, dan mengembangkan keseimbangan yang sehat di dalam pikirannya, antara skeptisisme (keragu-raguan) dan keterbukaan. Siswa sekolah dasar mempunyai minat yang spontan terhadap alam dan hitungan. Namun demikian, beberapa siswa merasa takut pada matematika dan menolak sains karena merasa terlalu bodoh, dan sains terlalu sukar dipelajari. Mereka menganggap sains hanya sebagai aktivitas akademis, bukan sebagai suatu cara untuk memahami dunia dengan kehidupan yang ada didalamnya. Sekolah perlu melakukan sesuatu yang esensial untuk mengubah situasi di atas, antara lain dengan adanya usaha yang kuat dari guru untuk bersikap positif di antara siswa-siswa. Jika guru memilih topik sains dan matematika dengan pendekatan yang mudah, menampilkan kerja kelompok dan memfokuskan pada kegiatan meneliti, belajar dan memperoleh pengakuan, maka semua siswa akan sungguh-sungguh belajar.
E. Keterampilan Pengetahuan harus dipahami dengan cara yang akan memungkinkan digunakan untuk memecahkan masalah. Untuk belajar keterampilan berpikir hanya datang dari proses memahami segala sesuatu yang penting mengenai dunia, menyatakannya dalam konteks dan situasi yang berbeda-beda, dan menggunakannya berulang-ulang.
1. Keterampilan Berhitung Di dalam kehidupan sehari-hari, seseorang mungkin harus membuat kalkulasi sederhana di dalam ingatannya, namun pada umumnya jumlah mental aritmatik seseorang sangat terbatas. Keterampilan berhitung membutuhkan ingatan dan kemampuan menghafal dengan segera sejumlah fakta-fakta tertentu, seperti; 1) jumlah dan selisih bilangan 1 s.d 10 2) perbandingan desimal dari pecahan 1/2, 1/3, 2/3, 3/4, 1/5, 1/10 dan 1/100 3) hubungan antara pecahan desimal dan persentase (misalnya 0,23 dan 23%) 4) hubungan antara 10,100, 1000, 1 juta dan 1miliar, menyatakan pangkat dari 10, seperti 101, 102, 103, 104, dan 109. Ada dua jenis mental kalkulasi yang harus dilakukan oleh setiap orang, yaitu ; 1) penjumlahan dua bilangan yang masing-masing mempunyai 2 digit 2) perkalian dan pembagian 2 bilangan dengan 2, 10 dan 100, pada 1 atau 2 digit. Kedatangan kalkulator elektronik yang kecil dan tidak mahal, telah memungkinkan perubahan situasi yang radikal, karena bekerja cepat, dan menyediakan kesempatan untuk melakukan dan belajar matematika dengan betul. Siswa dapat mempelajari bagaimana langkah/tahap menghitung untuk memecahkan masalah penjumlahan biasa dan bagaimana menguji kebenaran jawabannya. Pada saat dibutuhkan ketelitian, dan angka yang digunakan banyak digit, atau pada saat penghitungan harus melalui beberapa tahap, kalkulator berusaha melakukan beberapa praktis di luar kemampuan penghitungan tertulis.
2. Keterampilan Manipulasi dan Observasi Setiap orang memerlukan kemampuan untuk menggunakan benda-benda atau peralatan rumah dan peralatan teknologi sehari-hari, melakukan observasi dengan hati-hati dan menguasai informasi. Hal tersebut di atas termasuk melakukan hal-hal sebagai berikut; membuat catatan yang akurat tentang suatu observasi, spekulasi tentang apa yang diobservasi, yang baru dimengerti pada waktu selanjutnya, menyimpan informasi komputer dengan berdasarkan topik, alfabet, nomor atau file kata kunci atau file sederhana, menggunakan alat pengukuran panjang, volume, berat, interval waktu dan temperatur, dan lain-lain.
3. Keterampilan Komunikasi Berpidato dalam sains, matematika dan teknologi, disebut kemampuan mengkomunikasikan gagasan dan membagi informasi secara jelas, serta membaca dan mendengar dengan paham. Setiap orang harus mempunyai keterampilan yang memungkinkan dirinya melakukan hal sebagai berikut, antara lain menyatakan secara lisan atau tulisan tentang ide dasar suatu tulisan. Hal ini membutuhkan pemahaman terhadap ide tersebut, membentuk struktur konseptual sendiri dan mungkin memberi ilustrasi ide dengan contoh dan alasan yang rasional, menjadikan suatu hal yang menyenangkan dan familiar dengan dilengkapi perbendaharaan kata baku tentang ide pokok sains, matematika dan teknologi, seperti ” jika ....., maka .......”, ”dan”, ”setiap”, ”tidak”, ”berhubungan dengan”, dan ”akibat”, mengorganisasikan informasi menjadi suatu tabel, dan lain-lain.
4. Keterampilan Respon Krisis Dalam berbagai bentuk, media massa, guru dan kelompok bermain, membanjiri siswa dengan pernyataan dan pendapat yang beberapa diantaranya merupakan bagian dari sains, matematika dan teknologi. Pendidikan dapat menyiapkan seseorang untuk membaca atau mendengarkan beberapa pernyataan secara kritis, apa yang harus dihilangkan, dan membedakan pendapat yang baik dan tidak baik, lebih jauh lagi orang dapat menerapkan keterampilan kritis tersebut terhadap pengamatannya, argumennya dan kesimpulannya. F. Kesimpulan Nilai, sikap dan keterampilan, dapat dianggap sebagai kebiasaan berpikir karena kesemuanya berhubungan langsung dengan pandangan seseorang tentang pengetahuan, belajar, cara berpikir dan cara bertindak. Sains, matematika dan teknologi merupakan dasar bagi nilai sehari-hari, dan merupakan penerapan nilai manusia yang dianggap luhur, yaitu integritas, kerajinan, kejujuran, rasa ingin tahu, terbuka terhadap gagasan/pendapat baru, dan imajinasi. Tiga dari nilai dan sikap diatas dipelihara di dalam pendidikan sains, yaitu rasa ingin tahu, terbuka terhadap gagasan/pendapat baru dan skeptisisme (keragu-raguan). Untuk menunjang pencapaian nilai, sikap dan keterampilan yang diharapkan atau untuk mencapai kebiasaan berpikir yang positif, perlu diterapkan kegiatan pembelajaran yang efektif. Dengan demikian, sekolah melalui usaha guru perlu menyelenggarakan pendidikan sains, matematika dan teknologi sebagi suatu proses yang melibatkan seluruh aspek yang ada di dalam diri siswa, untuk mencapai pemahaman sains, matematika dan teknologi disertai adanya nilai, sikap dan keterampilan sains, matematika dan teknologi dalam menyiapkan siswa dapat menjalani kehidupannya di luar sekolah. Ketika pengalaman manusia mengalami dikotomi, bingung menghadapi dilema, atau menghadapi ketidakpastian , tindakan yang umum dilakukan adalah menggambarkannya dalam bentuk yang amat dipengaruhi pola kecerdasannya. Penggambaran tadi biasanya menjadi sangat luar biasa dan sangat signifikan mempengaruhi dirinya. Semua pihak perlu menyadari bahwa pendidikan sain tidak terbatas sebagai kegiatan akademis yang akan menghasilkan saintis yang terpisah dari kehidupan masyarakat. Kesadaran itu menuntut tenaga pendidik untuk bertanggung-jawab secara profesional menerapkan prinsip-prinsip pendidkan sains, matematika dan teknologi baik di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, maupun di lembaga pendidikan non-formal. Peran pendidik selama proses pembelajaran tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga mengajarkan proses bagaimana pengetahuan diperoleh. Praktek pembelajaran sains di sekolah hendaknya tidak hanya menekankan domain pengetahuan, tetapi juga mengembangkan aspek kerja ilmiah dan keterampilan berpikir ilmiah. Presseisen (Costa, 1985) mendefinisikan berpikir adalah proses kognitif atau aktivitas mental untuk memperoleh pengetahuan. Dengan demikian Kompetensi dasar yang dirancang guru sains tidak hanya mencakup kompetensi akademik tetapi lebih ditekankan pada keterampilan berpikir, yang merupakan basic life skill. Perbaikan pembelajaran sains lebih diorientasikan pada bagaimana belajar sains, yang intinya adalah bagaimana guru dapat membelajarkan sains sesuai hakikat sains. Guru sendiri perlu mengembangkan keterampilan berpikir, yang berguna tidak hanya untuk pembelajaran sains di kelas, akan tetapi juga berguna dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran di kelas harus memiliki kemampuan membentuk habits of mind siswanya. Seseorang yang berpikir akan mendapatkan suatu penemuan baru atau dapat mengkaitkan antara satu hal dengan hal yang lain.
F. Daftar Rujukan
Costa, A.L. (1985). Developing Minds, A Resource Book for Teaching and Thinking. Association Supervision and Curriculum. USA.
Costa, A.L. & Kallick, B. (2000). Describing Sixteen habits of Mind. Alexandria, VA Association for Supervision and Curriculum Development. USA.
Kemdikbud. (2014). Bahan Pelatihan Kurikulum 2013. Jakarta: BPSDMPK dan PMP
Rutherford, F.J. & Ahlgren, A. (1990). Science for All Americans. New York : Oxford University Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar